![]() |
Kak Seto memberikan tanggapan terhadap program Dedi Mulyadi didik anak nakal di barak militer. (Instagram.com /@disdikjabar) |
INDOINFONEWSCOM-Program
pelatihan karakter dengan mengirim siswa bermasalah ke barak pendidikan
kebangsaan yang digagas Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, kembali menuai
sorotan publik. Menanggapi rentetan kritik, Dedi melontarkan pernyataan tajam
terhadap para penentangnya.
Menurut Dedi,
reaksi terhadap program tersebut bisa dibagi menjadi dua kubu besar: mereka
yang benar-benar peduli terhadap masa depan bangsa, dan mereka yang,
menurutnya, menjadikan kepentingan politik sebagai dasar penilaian.
"Orang-orang
yang sibuk nyinyir itu sebenarnya sedang menjadikan politik sebagai agama baru
mereka. Di mulut mereka menyebut Tuhan, tapi isi hatinya penuh provokasi,"
kata Dedi dalam unggahan media sosialnya pada Rabu (21/5).
Ia
menambahkan bahwa program ini lahir dari kegelisahannya terhadap sistem
pendidikan nasional yang dinilai kurang berhasil membentuk karakter kebangsaan
siswa. Menurut Dedi, jika pelatihan singkat selama 18 hari di barak bisa
menumbuhkan semangat nasionalisme lebih baik dibanding sekolah formal, maka ada
sesuatu yang keliru dalam sistem pendidikan kita saat ini.
“Pendidikan
seharusnya menyentuh hati dan nurani, bukan sekadar soal angka, laporan, dan
administrasi,” ujarnya.
Program ini
mendapat apresiasi dari sejumlah kalangan masyarakat yang menilai pendekatan
disiplin di barak bisa menjadi solusi alternatif pembinaan anak. Namun, tak
sedikit pula yang menentangnya keras.
Setelah
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) meminta agar program ini dievaluasi,
kini Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) turut menyuarakan penolakan.
Sekretaris Jenderal FSGI, Fahriza Marta Tanjung, menilai kebijakan ini terlalu
reaktif dan tidak menyentuh akar persoalan yang sebenarnya.
“Ini solusi
jangka pendek yang tidak menyelesaikan masalah perilaku anak secara menyeluruh.
Apalagi jika benar ada wacana pengiriman guru yang dianggap ‘malas’ ke barak,
itu sangat mengkhawatirkan,” ujarnya dalam pernyataan resmi, Senin (19/5).
Meski
dikritik keras oleh sejumlah lembaga, Dedi bersikukuh bahwa langkah ini adalah
bentuk inovasi pendidikan, bukan hukuman. Ia menyatakan akan terus menjalankan
program tersebut sembari membuka ruang evaluasi demi penyempurnaan.